![]() |
Suasana Buka Bersama dengan keluarga dan komunitas pertemanan |
BACADOLOE.COM, - Bulan
Ramadhan selalu identik dengan tradisi buka bersama atau bukber. Momen ini
menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk berkumpul, mempererat silaturahmi
dan menikmati kebersamaan. Baik dalam lingkungan keluarga, komunitas
pertemanan, maupun lingkup profesional, bukber selalu dinantikan sebagai ajang
temu kangen. Namun, di balik suasana kebersamaan ini, ada aspek lain yang
sering luput dari perhatian yaitu eksklusivitas sosial yang secara tidak
langsung terbentuk dalam tradisi ini.
Pada dasarnya, buka
bersama memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, yang menekankan pentingnya
berbagi dan mempererat hubungan sosial. Tradisi ini menjadi wadah bagi individu
untuk tetap terhubung, terutama bagi mereka yang kesibukannya membuat sulit
bertemu sehari-hari. Buka bersama juga sering menjadi ajang komunitas dan
organisasi untuk mengadakan kegiatan sosial, seperti berbagi makanan dengan
mereka yang membutuhkan.
Namun, dalam
perkembangannya, makna silaturahmi dalam bukber kerap mengalami pergeseran.
Acara yang seharusnya bersifat inklusif dan membangun kebersamaan justru bisa
berubah menjadi ajang yang eksklusif. Tidak semua orang memiliki kesempatan
atau kemampuan untuk ikut serta, baik karena keterbatasan ekonomi, lokasi yang
jauh atau jadwal yang tidak memungkinkan. Bahkan, pemilihan tempat yang terlalu
mewah dan mahal sering kali membuat sebagian orang merasa tidak nyaman atau
terpaksa mengikuti acara demi menjaga hubungan sosial.
Meskipun terlihat
sederhana, buka bersama tidak selalu bisa diikuti semua orang dengan nyaman.
Ada banyak faktor yang membuat seseorang merasa terbebani untuk hadir. Dalam
banyak kasus, orang merasa sungkan menolak ajakan bukber meskipun memiliki
keterbatasan finansial atau tanggung jawab lain yang lebih mendesak.
Tekanan sosial juga
semakin kuat ketika bukber dilakukan di tempat-tempat eksklusif yang tidak
semua orang bisa jangkau. Seseorang yang tidak hadir bisa dianggap kurang
menghargai kebersamaan atau bahkan dinilai sombong. Padahal, ada banyak alasan
mengapa seseorang memilih untuk tidak ikut, mulai dari kondisi ekonomi, jadwal
pekerjaan, hingga tanggung jawab keluarga.
Selain itu, ada juga
fenomena di mana seseorang merasa "wajib" menghadiri banyak undangan
bukber, baik dari rekan kerja, teman sekolah, hingga komunitas lainnya. Jika
harus menghadiri beberapa acara dalam sebulan, tentu ini bisa menjadi beban finansial
yang tidak kecil. Bagi mahasiswa perantauan, pekerja dengan jam kerja panjang
atau individu dengan tanggungan keluarga, undangan bukber yang beruntun bisa
menjadi dilema yang cukup berat.
Dari perspektif
psikologis, tekanan ini juga dapat menyebabkan stres sosial. Ketidakmampuan
untuk ikut serta dalam acara yang dianggap penting dapat menimbulkan perasaan
terisolasi atau kurang dihargai dalam kelompok. Fenomena ini semakin diperkuat
dengan ekspektasi sosial yang tidak tertulis bahwa kehadiran dalam bukber
menunjukkan solidaritas dan kebersamaan.
Dalam beberapa situasi,
tradisi buka bersama juga berubah menjadi ajang pamer status sosial. Pemilihan
restoran mewah, unggahan di media sosial yang berlebihan, hingga eksklusivitas
dalam daftar undangan sering kali menciptakan kesenjangan yang tidak disadari.
Alih-alih menjadi ajang kebersamaan, bukber justru berubah menjadi acara yang
menegaskan perbedaan ekonomi antarindividu.
Fenomena ini semakin
diperkuat oleh tren media sosial. Foto-foto makanan mewah, suasana pertemuan
yang glamor, dan lokasi eksklusif membuat bukber tampak seperti bagian dari
gaya hidup yang harus diikuti. Bagi sebagian orang, ini bisa menimbulkan
tekanan untuk ikut serta, bahkan jika harus mengorbankan anggaran pribadi demi
mengikuti standar sosial yang ada.
Selain itu, eksklusivitas
juga muncul dalam bentuk seleksi peserta. Tidak jarang, hanya individu tertentu
yang diundang ke acara tertentu, menciptakan batasan sosial yang semakin
memperlebar kesenjangan. Bukber yang seharusnya mempererat tali persaudaraan
justru bisa menjadi momen yang memperlihatkan batasan sosial yang ada dalam
masyarakat.
Agar buka bersama tetap
menjadi momen kebersamaan yang bermakna tanpa menciptakan eksklusivitas, ada
beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, memilih lokasi yang lebih terjangkau
agar semua orang merasa nyaman untuk hadir. Kedua, menerapkan konsep potluck,
di mana setiap peserta membawa makanan sendiri sehingga tidak ada beban
finansial bagi satu pihak.
Selain itu, penting untuk
mempertimbangkan waktu dan kondisi peserta, agar mereka yang memiliki
keterbatasan tetap dapat bergabung tanpa tekanan. Esensi kebersamaan juga harus
lebih diutamakan dibandingkan sekadar menunjukkan eksistensi di media sosial. Bukber
juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sosial, seperti berbagi makanan dengan
yang membutuhkan, sehingga acara ini tidak sekadar menjadi ajang konsumtif.
Alternatif lain yang
dapat dilakukan adalah mengadakan bukber secara lebih sederhana, seperti di
rumah atau di tempat terbuka, di mana semua orang bisa berpartisipasi tanpa
merasa terbebani secara finansial. Menggunakan momen bukber untuk berdiskusi
atau mempererat ikatan secara lebih personal juga bisa menjadi cara agar
tradisi ini lebih bermakna.
Pada akhirnya, silaturahmi tidak harus selalu dilakukan dalam pertemuan mewah. Komunikasi yang baik sehari-hari juga bisa menjadi bentuk kebersamaan yang lebih bermakna. Dengan memahami berbagai dinamika sosial di balik tradisi ini, kita bisa menjadikan buka bersama sebagai ajang yang benar-benar inklusif dan membangun kebersamaan yang tulus. Dengan demikian, bukber tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga sarana untuk memperkuat nilai kebersamaan dan kepedulian sosial secara lebih luas. (*)