Dilema Arsitektur Modern: Antara Megahnya Visual dan Kearifan Lokal yang Terpinggirkan

Menggali Harmoni Desain Gedung Megah dan Ramah di Indonesia 

Dilema Desain Gedung Kontemporer: Antara Megah dan Ramah 

Tren desain gedung Indonesia kini menghadapi dilema antara kemegahan visual dan keramahan lingkungan, budaya, serta kenyamanan sosial

Desain Gedung Bertingkat yang Megah

Bacadoloe.com - Dalam beberapa dekade terakhir, wajah kota-kota besar di Indonesia berubah begitu cepat. Gedung-gedung tinggi menjulang, fasad kaca berkilauan memantulkan cahaya matahari dan desain futuristik seolah menjadi standar baru arsitektur perkotaan. Kota berlomba-lomba membangun ikon visual sebagai simbol kemajuan, modernitas dan daya saing global. Di tengah euforia tersebut, berbagai referensi desain bermunculan, salah satunya desaingedung.id yang kerap menampilkan ragam inspirasi arsitektur mutakhir.

Desain gedung hari ini tak lagi sekadar soal fungsi sebagai tempat beraktivitas. Gedung berubah menjadi pernyataan identitas, ajang unjuk diri bahkan alat pemasaran. Tak heran jika estetika yang megah sering kali menjadi prioritas utama. Bentuk-bentuk ikonik, penggunaan material premium, hingga integrasi teknologi terkini, seperti sistem otomasi cerdas dan kontrol suhu digital, menjadi elemen wajib dalam gedung-gedung baru.

Salah satu kritik utama terhadap tren desain gedung kontemporer adalah kecenderungannya melupakan konteks lokal. Banyak gedung megah berdiri tanpa mempertimbangkan kondisi iklim, budaya dan kebutuhan sosial masyarakat. Penggunaan material kaca dalam skala besar, misalnya, memang memberi kesan modern, tetapi sering kali menyebabkan masalah panas berlebih di negara tropis seperti Indonesia. Akibatnya, konsumsi energi meningkat tajam karena kebutuhan pendingin ruangan yang tinggi, berbanding terbalik dengan semangat efisiensi energi yang juga digaungkan dalam desain masa kini.

Sayangnya, arsitektur yang menonjolkan kearifan lokal kerap dianggap kuno dan tertinggal zaman. Padahal, integrasi antara modernitas dan nilai-nilai lokal bukan hal yang mustahil. Beberapa arsitek Indonesia mulai membuktikan bahwa desain kontemporer bisa tetap selaras dengan budaya, menggunakan material lokal, serta memperhatikan kenyamanan iklim tropis. Pendekatan seperti inilah yang seharusnya lebih banyak dikedepankan agar pembangunan tidak hanya berorientasi pada visual, tetapi juga pada keberlanjutan dan karakter khas Indonesia.

Padahal, Indonesia sejatinya memiliki kekayaan arsitektur tradisional yang justru sangat adaptif terhadap iklim tropis. Rumah-rumah panggung dengan ventilasi silang alami, penggunaan material lokal yang mudah diperbarui serta bentuk atap yang dirancang khusus untuk mengantisipasi curah hujan tinggi adalah contoh nyata bagaimana arsitektur bisa harmonis dengan alam. Sayangnya, prinsip-prinsip ini justru sering diabaikan dalam desain gedung modern yang lebih menonjolkan pencitraan global ketimbang kearifan lokal.

Selain itu, desain yang terlalu fokus pada tampilan luar sering kali abai terhadap kualitas ruang dalam. Tak sedikit gedung megah yang terasa dingin secara emosional, minim ruang interaksi sosial, dan terlalu kaku untuk mendukung kenyamanan penghuni. Desain seperti ini justru menjauhkan manusia dari pengalaman ruang yang hangat dan akrab, yang semestinya menjadi tujuan utama arsitektur. Pada akhirnya, gedung hanya menjadi latar swafoto, bukan ruang hidup yang bermakna.

Di sisi lain, tantangan terbesar desain gedung masa kini bukan hanya soal estetika atau kenyamanan, melainkan juga keberlanjutan. Krisis iklim menuntut kita untuk berpikir ulang tentang bagaimana bangunan dirancang, dibangun dan dioperasikan. Konsep green building sebenarnya sudah mulai diterapkan di beberapa proyek, tetapi masih sering berhenti pada aspek teknis seperti penggunaan panel surya atau sistem pengelolaan air hujan. Padahal, keberlanjutan sejati juga mencakup cara bangunan beradaptasi dengan lingkungan sosial, budaya dan ekosistem sekitarnya.

Ke depan, perlu ada pergeseran paradigma dalam merancang gedung di Indonesia. Desain yang baik bukan hanya soal tinggi, luas, atau mewah, melainkan bagaimana bangunan itu mampu berdialog dengan kota, manusia dan alam. Kearifan lokal yang selama ini terpinggirkan perlu kembali dihidupkan dalam bentuk desain yang responsif terhadap iklim, material yang ramah lingkungan, dan tata ruang yang mendukung interaksi sosial. Dengan begitu, gedung tidak hanya megah di mata, tetapi juga ramah di jiwa.

Terakhir, dilema desain gedung kontemporer bukan tentang memilih antara kemegahan atau keramahan, melainkan bagaimana menyatukan keduanya dalam harmoni. Sudah saatnya arsitektur Indonesia berbicara lebih jauh dari sekadar estetika visual. Di tengah tantangan urbanisasi, perubahan iklim dan kebutuhan sosial yang semakin kompleks, desain gedung harus kembali ke akar utamanya: menciptakan ruang hidup yang nyaman, sehat dan bermakna bagi semua. (*)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama