KH. Abdurrahman Wahid bersama seorang Paus Yohanes Paulus II di Vatikan |
Bacadoloe.com - KH. Abdurrahman Wahid atau yang kerap dikenal dengan panggilan Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Namun sebenarnya tanggal dan bulan tersebut disebut bagian dari kesalahpahaman memahami kalau beliau dilahirkan di bulan 8. Namun yang dimaksud bukanlah bulan dalam masehi, tapi hijriyah. Sehingga yang tepat beliau dilahirkan pada 4 Sya’ban tahun 1940/7 September 1940. Namun demikian, Gus Dur memperbolehkan dua tanggal kelahiran tersebut untuk diperingati sebagai hari lahirnya.
Awalnya, nama lengkap beliau adalah Abdurrahman ad-Dakhil yang mempunyai arti “sang penakluk”. Sebuah nama yang diberikan ayahandanya, KH. Wahid Hasyim dengan inspirasi dari seorang perintis bani Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Namun belakangan, kata “Addakhil” tidak diganti dengan nama “Wahid” sehingga menjadi menjadiAbdurrahman Wahid.
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah salah satu pembesar organisasi besar Nahdlatul Ulama, yakni KH. Wahid Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah yang merupakan seorang putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH. Bisri Syansuri.
Secara nasab, Gus Dur bisa dikatan memiliki garis keturunan yang mempertemukan garis ulama besar. Beliau tak lain adalah cucu KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdatul Ulama. Bahkan kakeknya merupakan salah seorang ulama berpengaruh dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jika ditarik keatas dari kakeknya, maka nasab beliau akan bersambung dengan Nabi Muhammad SAW, melalui Maulana Ishaq, salah seorang wali songo.
Untuk sanad dari jalur ibu, Ny. Hj. Sholehah merupakan putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, KH. Bisyri Syansuri. Beliau juga ikut mendirikan dan memimpin Nahdlatul Ulama dan berperan dalam pergerakan nasional dan awal kemerdekaan. KH. Bisri Syansuri tercatat pernah menjabat menjadi Rais Aam PBNU, sebagai anggota DPR RI, dan pakar di bidang fikih.
Dari masa kanak-kanak, Gus Dur cukup istimewa karena mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, KH. Abdurrahman Wahid telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Pantas jika beliau diberi julukan dengan guru bangsa.
Di samping kegemarannya dalam membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan KH. Abdurrahman Wahid pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
KH. Abdurrahman Wahid disebutkan wafat pada tanggal 30 Desember 2009, pukul 18.40 WIB, dalam usianya yang ke 69 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Saat kepergian sang guru bangsa, Pondok Tebuireng tumpah ruah penuh dengan lautan manusia yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak, begitu juga jalanan utama di depan Pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantar KH. Abdurrahman Wahid.
Bahkan tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan KH. Abdurrahman Wahid, tetapi juga dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Presiden RI ke-4 di altarnya masing-masing.
Kini, pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here Rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.
Riwayat pendidikannya, KH. Abdurrahman Wahid awalnya belajar mengaji dan membaca al-Qur’an pada sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari. Dalam usia lima tahun beliau telah lancar membaca al-Qur’an.
Sewaktu kecil juga, Gus Dur sudah mulai menghafal al-Qur’an dan puisi dalam bahasa arab. Pada tahun 1944, Gus Dur dibawa ke Jakarta oleh ayahnya yang mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy’ari untuk mewakili beliau sebagai Ketua Jawatan agama dalam pemerintahan pendudukan Jepang.
Meskipun ayahnya merupakan tokoh terkemuka, Gus Dur tidak menempuh pendidikan di sekolah elit yang biasa dimasuki oleh anak para pejabat. Gus Dur memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) sebuah sekolah bentukan pemerintah Hindia Belanda untuk anak pribumi atau SD KRIS sebelum akhirnya pindah ke SD Perwari. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Tanah Abang. Namun karena tidak naik kelas, ibunya kemudian memindahkannya untuk sekolah di SMEP di Yogyakarta dan tinggal di rumah tokoh Muhammadiyah, pak Junaid sambil mengaji di tempat KH. Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak.
Ada kisah yang tidak sederhana dibalik peristiwa Gus Dur tidak naik kelas. 19 April 1953, KH. Wahid Hasyim baru berusia 39 tahun, meninggal dunia akibat kecelakaan mobil di Cimahi dan Gus Dur menyertai di perjalanan waktu itu. Hal ini menjadi peristiwa yang amat memilukan bagi Gus Dur yang kala itu usianya baru 13 tahun, yang menyebabkan Gus Dur tidak naik kelas. Tahun 1957, beliau meneruskan pendidikan ke Magelang di Pondok Pesantren Tegalrejo dibawah bimbingan Kiai Chudori.
Gus Dur kemudian melanjutkan perjalanan mencari ilmunya ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pondok Pesantren Tambak Beras dibawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Kemudian Gus Dur kembali belajar di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, dan beliau tinggal dirumah kiai Ali Maksum.
Tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Meski sudah mahir berbahasa Arab, Gus Dur diharuskan mengambil kelas remedial terlebih dahulu, karena tidak mampu memberikan bukti bahwa beliau memiliki kemampuan berbahasa Arab. Hal ini membuat Gus Dur merasa bosan, karena harus mempelajari materi yang sudah beliau pelajari selama di pesantren. Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengunjungi toko-toko buku, perpustakaan, hingga ke bioskop dalam upayanya dalam menggali khazanah peradaban yang pernah terjadi di Mesir.
Perpustakaan bukanlah salah satu referensi Gus Dur dalam memperkaya wawasannya. Dimanika politik di Mesir juga menjadi referensinya dalam memperkaya wawasan. Gus Dur dengan cermat mengamati kondisi Mesir kala itu, khususnya berkaitan perseteruan antara penguasa Mesir dengan organisasi Ikhwanul Muslimin dibawah komando Sayyid Qutub.
Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, ia masuk dalam Depertement of Religion Universitas Baghdad. Selama di Baghdad, KH. Abdurrahman Wahid mendapatkan rangsangan intelektual yang berbeda dengan sebelumnya, dimana Irak juga merupakan sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam cukup maju.
Sewaktu di Baghdad, Gus Dur menyelesaikan pendidikan sarjana. Kemudian ia melanjutkan S2, judul tesisnya sudah diajukan. Tapi sayangnya, sang pembimbing meninggal dunia, dan KH. Abdurrahman Wahid sangat sulit untuk mencari penggantinya, akhirnya Gus Dur memilih untuk pulang ke Indonesia.
Tahun 1971, KH. Abdurrahman Wahid bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Karir Gus Dur terus merangkak dan menjadi peneliti untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan sangat baik, dan dari menulis di media massa itu Gus Dur dikenal sebagai intelektual.
Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk mengisi perkuliahan dan seminar yang menyebabkan ia harus pulang pergi Jakarta-Jombang, tempat ia dan keluarganya tinggal. Namun honorarium dari tulis menulis artikel ini tidaklah mencukupi untuk menutupi biaya hidup keluarganya. Sehingga, Gus Dur dan sang istri sempat harus tetap berjualan es lilin dan kacang tanah.
Saat menjadi ketua PBNU inilah di tahun 1984 NU menginisiasi gagasan “Kembali ke Khittah 1926” dimana NU tidak lagi terlibat secara kelembagaan dalam kegiatan politik praktis. Gus Dur memiliki sebuah penawaran yang sangat brilian tentang “kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis.
Menjelang pertengahan 1998, Gus Dur dalam masa periode ketiga menduduki jabatan ketua PBNU. Melihat situasi carut negara ini mengharuskan NU turut andil dalam perpolitikan, akhirnya Gus Dur membuat PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) bersama-sama tokoh NU lainnya sebagai wadah bagi masyarakat NU supaya bisa mengikuti pemilihan legislatif pada tahun 1999, dan akhirnya PKB bisa mengikuti pemilihan legislatif.
Pewarta : Eru
Editor : Nys