Ilustrasi perang Patirana Bondowoso |
Bacadoloe.com - Peringatan Hari Pahlawan Nasional merupakan suatu momen untuk mengenang kembali potret perjuangan para pejuang yang telah gugur di medan pertempuran. Dari berbagai macam bentuk pertempuran, terdapat Perang Patirana sebagai sekelumit sejarah yang sedikit terpinggirkan.
Sejarah terjadinya Perang Patirana di Bondowoso, bisa dibilang mungkin tak banyak orang yang tahu. Namun sangat naif rasanya sebagai sebuah bangsa jika tidak tahu tentang sejarah perjuangan para pahlawannya. Dengan demikian tentu tidak boleh lupa dengan segala usaha para pejuang, untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Patirana merupakan sebuah nama dari salah satu gunung di Bondowoso. Selain itu, nama tersebut juga dijadikan sebagai nama salah satu dusun di Desa Wonosari Kecamatan Grujugan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
Perang yang terjadi di gunung Patirana tersebut kemudian kita kenal dengan sebutan Perang Patirana. Merupakan salah satu perang gerilya pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, atau tepatnya pada Tahun 1949.
Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia atau LVRI Markas Cabang Bondowoso, Letkol Inf (Purn) Moch Mujahid mengatakan, pada Tahun 1949 sebelum pertempuran Perang Patirana pecah, Jenderal Sudirman meminta tentara kembali ke basis masing-masing daerahnya.
Seperti diketahui, pihak Indonesia saat itu membuat sebuah beberapa kesepakatan dengan Belanda dan Sekutu di Jakarta. Perjanjian yang disebut Perjanjian Renville tersebut terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948.
Namun, Sekutu melanggar perjanjian tersebut dan meminta Indonesia menyerahkan senjata lewat sebuah ultimatum. Hal tersebut yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di Surabaya dan merembet ke daerah-daerah yang lain.
Penghianatan Sekutu yang kemudian menjadi sebuah tragedi mengenaskan. Dua jenderal pimpinannya terbunuh oleh rakyat Surabaya, keadaan genting tersebut yang membuat Jenderal Sudirman meminta seluruh pasukannya berada di Pos masing-masing. Dengan demikian, pecahlah pertempuran di berbagai daerah, termasuk di Bondowoso yang kemudian disebut Perang Patirana.
Menurut Purnawirawan Letkol Inf Moch Mujahid, pada awalnya BKR (Badan Keamanan Rakyat) ada di Kabupaten Bondowoso. Sementara dengan adanya hasil Perjanjian Renville, Bondowoso diperintahkan agar dikosongkan dari sejumlah TNI.
Perjanjian Renville diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.
Kemudian, karena dianggap cukup menguntungkan membuat para TNI meninggalkan Bondowoso. Tak lama setelah itu, kabar penghianatan dari Belanda tersiar. Hal tersebut memungkinkan para TNI kembali ke Pos sesuai instruksi dari Jenderal Sudirman.
Akhirnya tentara Indonesia yang ada di Bondowoso hijrah ke Blitar dengan menaiki kereta api. Waktu hijrah pada Tahun 1947, bersamaan dengan tragedi Gerbong Maut.
Akibat dari tindakan penangkapan yang membabi buta itu, penjara yang saat ini menjadi Lapas Klas IIB Bondowoso penuh dengan tawanan.
Akibat Belanda berlaku sewenang-wenang, maka panglima perang Jenderal Sudirman memerintahkan tentara kembali ke basis masing-masing.
Sehingga pada Tahun 1949 tentara kembali ke Patirana yang merupakan markas Batalyon 26. Tetapi waktu itu tidak punya asrama. Bahkan disebutkan bahwa gunung-gunung itu kemudian menjadi asramanya.
Di Batalyon 26 tersebut, kemudian mencetak para pejuang yang tangguh. Mereka adalah gabungan dari tentara bentukan Jepang, Peta atau Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, Heiho, dan Laskar Hizbullah.
Kemudian Jenderal Sudirman memerintahkan tentara kembali ke basis, maka tentara yang balik ke Bondowoso melakukan perang gerilya. Bahkan dalam setiap perjalanan, terjadi pertempuran yang melibatkan para pejuang tersebut.
Akhirnya satu pleton tentara tiba di Patirana. Kemudian timbullah pertempuran besar di Patirana. Sehingga mengakibatkan gugur 38 orang yang terdiri dari rakyat dan TNI.
Menurutnya, kedatangan tentara Indonesia ke Patirana diketahui mata-mata Belanda. Kemudian Belanda mendekat dan menyerang. Untuk jasad dari 38 orang tersebut, kemudian dipindah ke Taman Makam Pahlawan Bondowoso.
Pewarta : Eru
Editor : Nys