8 Tokoh Kiai Pahlawan Nasional, Diburu Dan Disiksa Penjajah

Lukisan KH. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus Pahlawan Nasional

Bacadoloe.com - Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat besar, dan yang pasti tidak diragukan lagi. Selain berbagai macam rentetan sejarah perjuangan para ulama melawan penjajah, para ulama juga senantiasa menjaga negeri ini dari gempuran asing. Atas perjuangan tersebut, setidaknya ada 8 Tokoh Kiai tercatat sebagai Pahlawan Nasional. 

Terkait banyaknya ulama yang diberi gelar Pahlawan Nasional. Menurut data Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial (K2KRS) Kementerian Sosial, setidaknya ada banyak ulama yang bergelar Pahlawan Nasional. Meskipun untuk yang terlihat punya andil besar dalam perjuangan, tercatat ada sekitar 8 Tokoh Kiai yang ikut berjibaku melawan penjajah. 

Tak heran, jika 8 Tokoh Kiai yang juga merupakan Pahlawan Nasional dengan gencar memperjuangkan kemerdekaan tersebut, lantas menjadi sasaran para penjajah. Beberapa ulama tersebut harus diburu oleh tentara asing lantaran pengaruhnya yang kuat di masyarakat. 

Potret perjuangan 8 Tokoh Kiai yang diberi gelar Pahlawan Nasional tersebut, memaksa para kolonel Belanda mengasingkan, bahkan sampai menyiksa para ulama yang memperjuangkan kemerdekaan tersebut. 

1. KH. Hasyim Asyari

KH. Hasyim Asyari adalah pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur pada 10 April 1875.

KH. Hasyim juga sebagai tokoh yang menggagas pendirian Tentara Sukarela Muslimin di Jawa yang bernama Hizbullah. Para pejuang dari kalangan santri yang menjadi salah satu tentara rakyat, dan berkontribusi besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

KH Hasyim Asyari meninggal dunia di Jombang pada 7 September 1947, dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 17 November 1964.

2. KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868, Beliau merupakan teman seperguruan KH Hasyim Asyari. Ia dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah. Melalui organisasi ini dia melakukan perjuangan di bidang pendidikan. Dari Muhammadiyah lahir beberapa anak organisasi yang berjuang di medan sosial, seperti Aisiyah untuk perempuan, dan Hizbul Wathan.

KH Ahmad Dahlan juga dikenal aktif di beberapa organisasi seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam sebelum mendirikan Muhammadiyah.

Suami dari Siti Walidah yang juga bergelar Pahlawan Nasional ini meninggal dunia di Yogyakarta pada 23 Februari 1923.

Beliau dimakamkan di Brontokusuman, Mergangsang, Yogyakarta, dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 27 Desember 1961.

3. KH. Samanhudi

KH Samanhudi lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 1878. Beliau dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pendiri dan ketua Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) sebagai upaya untuk melebarkan sayap perjuangan.

KH. Samanhudi juga dikenal mendirikan Barisan Pemberontak Indonesia Cabang Solo dan Gerakan Persatuan Pancasila untuk melawan Belanda. Ia meninggal di Klaten pada 28 Desember 1956. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1961.

4. KH Agus Salim

KH Agus Salim lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884.

Agus Salim dikenal sebagai sosok pejuang, politisi, jurnalis, hingga Menteri Luar Negeri di masa awal kemerdekaan. Beliau memulai kiprah perjuangannya dari Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1919, dia mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh. Pada menjelang kemerdekaan, Agus Salim diangkat menjadi anggota BPUPKI, serta menjadi anggota Panitia Sembilan.

KH. Agus Salim meninggal di Jakarta pada 4 November 1954. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 27 Desember 1961.

5. KH. Zainul Arifin

KH Zainul Arifin dikenal sebagai tokoh politik NU dan pernah menjadi ketua DPR-GR pada masa demokrasi terpimpin. Zainul Arifin lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada 2 September 1909. Dia terlibat aktif dalam politik pada masa pergerakan nasional.

Pada masa pendudukan Jepang, KH. Zainul Arifin menjadi Kepala Bagian Umum dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Beliau meninggal di Jakarta 2 Maret 1963, dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 4 Maret 1963.

6. KH. Mas Mansyur

Berikutnya adalah KH. Mas Mansyur, seorang tokoh kelahiran Surabaya, 25 Juni 1896. Mas Mansyur merupakan seorang tokoh pembaharu Islam di Indonesia, dan dikenal sebagai 4 Serangkai bersama Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara.

KH. Mas Mansyur adalah putra dari Kiai Mas Ahmad, yang berasal dari pesantren Sidoresno, Surabaya. Sejak remaja, Mas Mansyur sudah mengenyam pendidikan di Al-Azhar Mesir, lalu ke Mekkah, dan kembali ke Tanah Air pada 1915.

Sejak itu, KH. Mas Mansyur aktif di sejumlah organisasi pergerakan. Dia bahkan pernah memimpin Muhammadiyah pada periode 1937-1943. Mas Mansyur meninggal di Surabaya, 25 April 1946, dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 26 Juni 1964.

7. KH. Wahid Hasyim

Ulama bergelar pahlawan nasional berikutnya adalah KH Wahid Hasyim, yang lahir di Tebu Ireng, Jombang, 1 Juni 1914. Wahid Hasyim merupakan putra dari KH Hasyim Asyari. Selain itu, Wahid Hasyim juga ayah Gus Dur atau Abdurrahman wahid, Presiden ke-4 RI.

KH. Wahid Hasyim dikenal sebagai Menteri Agama pertama di Indonesia. Dia juga pernah menjabat menteri di sejumlah kabinet yang antara tahun 1946-1952. Bahkan beliau menjadi salah satu tokoh yang menandatangani Piagam Jakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal UU Dasar 1945.

KH Wahid Hasyim meninggal di Cimahi, Jawa Barat pada 19 April 1953. Dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 24 Agustus 1964.

8. KH. Zainal Mustafa

Kiai yang satu ini tidak hanya berjuang melalui pemikiran dan pondok pesantren saja. KH. Zainal Mustafa juga pernah mengangkat senjata melawan penjajah.

Beliau lahir di Singaparna, Tasikmalaya pada tahun 1899. Pada tahun 1927, dia mendirikan Pondok Pesantren Sukamanah yang artinya suka berpikir. Pada akhir masa penjajahan Belanda, tepatnya periode 1940-1941, tercatat sebagai seorang yang gencar melakukan serangan melawan penjajah.

Namun pada 17 November 1941, KH. Zainal Mustofa ditangkap Belanda dan dipenjara di Sukamiskin. Memasuki masa pendudukan Jepang, sikap tegas Kiai Zainal tidak berubah.

Puncaknya pada 25 Februari 1944, tentara Jepang datang untuk meminta KH. Zainal Mustafa agar minta maaf atas sikap kerasnya selama ini. Namun beliau menolak, justru utusan Jepang itu dibunuh, sehingga Pesantren Sukamanah menjadi sasaran tempur tentara Jepang.


Pewarta : Eru

Editor : Nys

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama