Perjuangan Pangeran Diponegoro, Pahlawan Nasional Pemimpin Perang Jawa Yang Menelan Ribuan Korban Jiwa

Ilustrasi lukisan pangeran Diponegoro saat berperang melawan Belanda

Bacadoloe.com - menjelang Hari Pahlawan Nasional yang selalu diperingati pada tanggal 10 November, tidak lengkap rasanya jika tidak mengetahui perjuangan para pahlawan untuk kemerdekaan NKRI, salah satunya perjuangan Pangeran Diponegoro, Berikut sejarah singkatnya.


Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau yang lebih dikenal dengan sebutan pangeran Diponegoro, merupakan sosok pahlawan nasional yang merupakan pemimpin Perang Jawa.


Pangeran Diponegoro sendiri merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dan ibunda R.A Mangkarawati yang lahir dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo pada 11 November 1785 di Yogyakarta.


Tak hanya dikenal karena perang melawan Belanda, pangeran Diponegoro juga diketahui berperang melawan orang-orang Keraton yang berpihak kepada Belanda.


Tercatat, selama 5 tahun pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda. Mulai tahun 1825 sampai 1830 ia berjuang demi tanah air. 


Perang Jawa atau perang Diponegoro tercatat sebagai perang yang menelan paling banyak korban dalam sejarah Indonesia.


Sebanyak 8.000 korban dari pasukan Belanda dan 7.000 korban dari pribumi, serta 200 ribu orang mengalami kerugian materi sejumlah 25 juta Gulden.


Terjadinya Perang Diponegoro kala itu adalah ketika sang Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan.


Para petani lokal pada tahun 1821 sangat menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh Belanda, Prancis, Jerman, dan juga Inggris. 


Godert van der Capellen selaku Gubernur Hindia Belanda kala itu mengeluarkan dekrit pada 6 Mei tahun 1823 yang menyatakan bahwa tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada para pemiliknya pada 31 Januari 1824. Namun sang pemilik wajib memberikan kompensasi kepada para penyewa lahan tersebut.


Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk melakukan perlawanan agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.


Waktu itu amarah Pangeran Diponegoro memuncak setelah Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak untuk membuat rel kereta api di atas makam leluhurnya.


Pihak istana mengutus dua bupati untuk memimpin pasukan Jawa belanda. Dua bupati tersebut diminta untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo yang memicu perang Jawa selama 5 tahun lamanya.


Kediaman Pangeran Diponegoro dirusak dan dibakar sehingga keluarga dan pasukannya sang pangeran bergerak ke Desa Dekso, Kabupaten Kulon Progo untuk menyelamatkan diri.


Lalu Pangeran Diponegoro pindah ke Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul untuk bersembunyi dan menjadikannya sebagai markas.


Ada 15 dari 19 pangeran yang bergabung bersama pangeran Diponegoro. Ia juga dibantu dengan Kyai mojo untuk menjadi pemimpin spiritual pemberontakan, berkoordinasi dengan I.S.K.S Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.


Banyak petani dan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang untuk perang Diponegoro tersebut.


Di tahun 1827, pihak Belanda melakukan penyerangan kembali kepada pangeran Diponegoro hingga pasukannya terjepit.


Pada tahun 1829, Kyai Mojo dan Pangeran Mangkubumi serta panglimanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.


Karena peduli terhadap pasukannya, pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggotanya dilepaskan.


Setelah ditangkap, pangeran Diponegoro lantas diasingkan ke Manado dan dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari tahun 1855.



Pewarta : Nur

Editor : Nys

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama