Masyarakat Pedesaan Cerminan Manusia Sebagai Mahluk Sosial

Ilustrasi masyarakat pedesaan yang sedang gotong royong membangun rumah

"Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya" (HR. Muslim).


Bacadoloe.com - Alhamdulillah merupakan untaian yang tepat, untuk menggambarkan rasa syukur kepada Allah SWT, karena saya merupakan salah seseorang yang ditakdirkan untuk hidup di daerah pedesaan. Meski sempat terlintas dalam pikiran untuk tinggal di perkotaan, akan tetapi pikiran tersebut musnah setelah saya sadar bahwa saya adalah tipe manusia yang tidak akan kerasan dengan sebuah kondisi sosial yang cenderung individualis. Di pedesaan hubungan sosial sering kali terjalin dengan hangat, guyub dan terasa sangat indah.


Lihatlah bagaimana bagaimana rumah-rumah dibangun tanpa adanya pagar pemisah, sehingga tidak ada rasa sungkan dan mudah untuk saling mengunjungi. Bayangkan betapa indahnya, jika ada rejeki berlebih tidak lupa untuk membagi dengan tetangga sekitar, meski hanya sebatas cabai, tomat bahkan garam dapur. Mereka merasa lebih bahagia apabila dapat menikmati bersama dengan tetangga-tetangganya.


Rasa tolong-menolong dan saling membantu sangat kental. Tengok bagaimana mereka tidak perlu membayar orang untuk menggali kuburan, tidak perlu mendatangkan _Wedding Organizer_ (wo) untuk mengadakan hajatan pernikahan, bahkan tidak perlu diminta pertolongan hanya sekedar mengangkat jemuran. Dengan dilakukan bersama, semua terasa lebih mudah dan indah.


Jika ditanya, apa kehidupan bertetangga di desa selalu enak-enak saja? tentunya tidak. Hidup bertetangga dimanapun tidak selalu baik-baik saja.  Sempat viral di media sosial yang menggambarkan kerasnya hidup di desa karena nyinyiran tetangga. Terkadang betul adanya, dimana ema-emak desa sering berkumpul depan teras sambil ngerumpi yang dikemas dengan menyelisik (mencari kutu). Emak-emak sangat peka terhadap informasi yang ada. Jangankan informasi yang dekat disekitar rumahnya sendiri, informasi yang jaraknya jauh sekalipun emak-emak dapat mengaksesnya.


Meskipun perilaku tersebut kurang baik, akan tetapi jika ditarik benang positifnya maka perilaku tersebut dapat dijadikan sebagai kontrol sosial _(sosial control)_ bagi masing-masing individu di dalam masyarakat.


Islam sendiri mengatur dengan sebaik dan sedetail mungkin aktifitas umatnya. Dari hal yang biasa dan sederhana sampai urusan yang tidak biasa dan kompleks. Coba perhatikan, urusan makan, tidur dan masuk toilet pun ada etika dan akhlaknya.


Termasuk dalam hubungan antar tetangga, Islam sejak dulu telah mengaturnya. Seperti sabda Nabi Muhammad _"Tiap empat puluh rumah adalah tetangga-tetangga, yang di depan, di belakang, disebelah kanan dan di sebelah kiri (rumahnya)"._ mereka itulah tetangga kita.


Maka konsekuensinya dalam bertetangga adalah adanya hak dan kewajiban terhadap semua tetangga kita. Seperti gorong royong, silaturahmi, merawat jenazah, mengucapkan selamat, berbagi rezeki dan beberapa hak dan kewajiban lainnya.


Namun sayang, semakin berkembangnya zaman, dunia modern dikit demi sedikit mulai mengikis kehangatan dan kemesraan antar kita masyarakat desa ketimbang merekatkannya. Dunia modern seolah-olah menjadi mesin pencetak _individualisme_ yang canggih. Mulai menghilangkan kultur budaya dan sosial yang di bangun sejak dulu.


Bagaimana dunia modern membuat masyarakat mengetahui informasi yang jauh disana, tapi tidak mendengar tetangga sakit disampingnya. Coba lihat bagaimana dunia modern membuat hilang rasa tolong menolong, masyarakat lebih bangga dengan hasil belanjaan di mall, swalayan atau toko-toko besar, dari pada belanja toko tetangganya. Tapi pada saat mau ngutang dan minta pertolongan ke toko tetangga terdekat, lucu bukan.


Hal ini merupakan tamparan bagi kita untuk selalu menjaga dan membangun kembali kebiasaan-kebiasaan baik dari leluhur kita. Agar dapat dilestarikan dan dinikmati oleh anak cucu generasi selanjutnya.


Penulis : MNH

Editor : Nys

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama